Cinta dan Sayang

Sebuah jembatan layang yang muat dua mobil dari dua arah cukup menjadi sangat ramai. Kemacetan terjadi dari dua arah. Dari mobil, motor, sepeda, bahkan pejalan kaki berhenti di tengah-tengah jembatan. Mereka menyaksikan dan berusaha membujuk seorang gadis yang berusia 22 tahun tersebut untuk turun dari jembatan. Jembatan yang cukup tinggi. Jembatan yang menyatukan dua desa dari sungai yang cukup deras di bawah jembatan itu. Gadis itu bernama Amelia Kristi. Gadis yang baru dua jam yang lalu diputuskan oleh pacarnya. Pacar yang sangat disayangi dan dicintainya. Yang sudah berhubungan selama satu tahun. Amel hanya memiliki seorang ibu. Ibunya bernama Marifa. Dia berusaha membujuk Amel agar turun dari pinggir jembatan. Amel berusaha untuk mengakhiri hidupnya karena putus cinta.


"Amel sayang. Turun, nak dari jembatan" bujuk ibunya
"......."
"Amel. Ibu mohon turun"
"Gak mau!!"
"Amel. Kamu gak kasihan sama ibu?"
"Amel gak peduli!!"
"Amel!!! Turun!!" sahut sekumpulan orang yang menyaksikan aksi Amel
"Jangan mendekat. Atau aku langsung loncat!?"


Karena sudah terlalu lama dan geram. Seorang warga berjalan mendekati Amel dengan perlahan. Seorang pria paruh baya berusaha menarik Amel dari pinggir jembatan. Saat sudah diraih tangan Amel. Amel kaget dan tangan pria itu ternyata licin. Tidak perlu waktu yang lama, Amel terjatuh ke sungai. Ibunya teriak dan shock. Beberapa warga berusaha menenangkannya, sisanya mulai berhamburan turun ke bawah jembatan guna menyelamatkan Amel yang mulai tenggelam.


Tidak lama kemudian, Amel terbangun. Dia seperti kaget dengan kejadian tadi. Dia menganggap kejadian tadi adalah mimpi. Ketika Roni memutuskan hubungan dengannya dan saat dia akan mengakhiri hidupnya. Kemudian dia melihat sekelilingnya. Semuanya serba putih. Hampa. Dia merasa bahwa dia masih di dalam mimpi. Atau dia sedang mimpi di dalam mimpi. Amel berdiri dan mencoba berjalan lalu berlari. Tapi tidak ada ujungnya. Suara dan bau pun tidak terasa di sana. Sampai akhirnya di mendengar suara langkah kaki mendekatinya dari belakang. Amel membalik badannya. Dia melihat sosok seorang pria dengan rambut berwarna kuning dan pakaian mencolok. Baju yang serba putih dengan jas berwarna merah. Pria itu mendekatinya dengan wajah datar. Dan pria itu berhenti tepat dihadapan Amel.


"Siapa kau? Dimana ini?"
"Apa aku perlu menjawab semua itu? Aku rasa tidak"
"Kau aneh. Aku mau keluar dari sini. Kau tau jalan keluarnya?"
"Ooh... di sana. Mau ku antar? Biar kamu aman dan selamat keluar dari sini"
"Sejak kapan di sana ada pintu?"
"Dari tadi sudah ada di sana. Masa kamu tak melihatnya?"
".... Tidak."
"Suka tidak suka aku akan antar nona manis ke luar dari sini"
"Cih. Baiklah. Aku tetap mengawasimu pria aneh"

Mendengar jawaban Amel. Pria itu kemudian tersenyum dan mengantar Amel ke sebuah pintu berwarna putih dan besar. Pintu yang tiba-tiba muncul setelah pria itu menunjuk ke arah kanannya setelah dari tadi Amel mencari jalan keluar. Saat keluar dari pintu itu. Ternyata bukan keluar dari ruangan. Tapi kembali ke sebuah ruangan. Ruangan yang kali ini merupakan sebuah ruang tamu yang berukuran cukup besar. Banyak perabotan mewah di sana. Dan di ruangan itu duduk seorang pria yang hanya mengenakan kaus oblong dan sarung. Pria yang berusia sekitar akhir tiga puluh tahun itu seperti tidak berdaya. Dia terlihat sakit dan hanya duduk membungkuk di sebuah sofa yang besar. Di depannya terdapat sebuah meja dengan tumpukan kertas putih yang sudah berisi tulisan di atasnya. 


Amel merasa heran. Seharusnya di berada di luar. Bukan kembali ke ruangan lagi. Meskipun ruangan yang berbeda. Dia menatap pria berjas merah itu. Dia merasa dibohongi. Dengan tatapan marah dia mendekati pria berjas merah itu. Tapi bukannya sebuah tanggapan yang diinginkan Amel, tetapi hanya sebuah senyum yang berakhir tawa yang terbahak-bahak. Amel mulai kesal. Dia berusaha melempar bantal yang ada di sofa ke pria itu, tapi sayangnya dia tidak bisa menyentuhnya. Amel kembali menatap pria berjas merah. Kali ini dengan tatapan keheranan. Pria itu masih tertawa dan kemudian mendekati Amel.


"Aku tau kamu pasti punya pertanyaan kan? Hahahaha... Hah. Oke aku harus berhenti tertawa"
"Serius. Dari tadi memang tidak ada yang lucu, pria aneh"
"Oke. Nanti akan aku jelaskan. Tapi apa kamu tidak penasaran kenapa bisa berada di sini?"
"Itu juga. Cepat jelaskan semuanya!"
"Hei-hei. Satu-satu nona manis. Aku akan jelaskan yang ini dulu. Oke?"
".... Berhenti memanggilku nona manis"
"Siap, Amel manis"
"Huft!!"


Pria berjas merah kemudian menjelaskan kenapa mereka berada di sana. Sambil menunjuk pria yang duduk di sofa. Pria itu bernama Karya. Karya sebenarnya tinggal dengan seorang perempuan cantik bernama Musika. Karya dan Musika sudah menikah hampir tujuh tahun. Mereka tidak dikaruniai seorang anak satu pun. Karya dinyatakan mandul. Rumah yang besar dan harta yang melimpah dihasilkan dari usaha Karya dari kecil dengan ayahnya. Karya sangat mencintai dan sayang terhadap istrinya. Tapi sayang. Sampai-sampai dia memberikan hampir seluruh hartanya kepada Musika. Dari mobil, apartemen, rumah mewah, dan perhiasan. Tapi sayang, itu tidak cukup bagi Musika. Musika lebih mencintai harta Karya. Begitu tau Karya selain mandul, dia juga memiliki komplikasi penyakit. Musika meninggalkannya begitu saja. Harta yang diberikan dan yang tidak diambil semua oleh Musika. Dan sekarang, Musika sedang mendekati pria kaya lainnya. Kemudian, pria berjas merah menunjuk tumpukan kertas yang berada di atas meja. Tumpukan kertas itu merupakan surat pernyataan pindah tangan harta Karya kepada Musika, tagihan barang-barang yang dibeli Musika, pembayaran kartu kredit Musika, dan surat perceraian. Meski begitu, Karya tetap menandatangani semuanya kecuali surat perceraian. Karena Karya masih sayang dan cinta terhadap istrinya.


"Oke, aku paham kenapa pria itu. Lalu pertanyaanku yang lainya......"
"Sssttt... jangan ganggu momentumnya" kata pria berjas merah sambil meletakan telunjuknya ke mulut Amel
"Hei pria aneh, jangan sentuh aku!"
"Oke"
"Lalu apa? Pertanyaanku yang lain belum terjawab"
"Sabar Amel manis, mari ikut aku lagi ke pintu tadi"
"Gak mau. Balik lagi, dong. Dan jangan panggil aku Amel manis. Cukup Amel aja"
"Sotoy kamu. Tinggal ikut, nanti juga tau Amel aja"
"Isshhh.. oke. Tapi kali ini aku keluar ya"
"Bisa jadi.. hahaha.."
"Dasar pria aneh"


Amel dan pria berjas merah kembali melewati pintu yang tadi. Dan seperti apa yang diperkirakan Amel sebelumnya. Dia tidak keluar sesuai dengan keinginannya. Tetapi kembali ke sebuah ruangan lagi dan kali ini berbeda dari dua ruangan sebelumnya. Kali ini sebuah ruang makan. Ruang makan yang sederhana. Hanya terdapat meja makan kecil dan dua kursi yang saling berdekatan di sisi kanan meja. Sisi kiri meja menempel dengan dinding. Ruang makan tersebut bersebelahan dengan dapur yang terbuka, sehingga seperti menyatu dengan ruang makan. Di ruangan ini hanya ada seorang perempuan yang sedang sibuk menyiapkan makan malam. Amel kembali merasa dibohongi oleh pria berjas merah itu. Kali ini dia tidak tertawa, dia hanya tersenyum dan berdiri di sebelah kanan Amel.

"Aku tau kamu merasa dibohongi lagi kan?"
"Tak perlu kujawab. Kau pasti tau jawabannya!"
"Ish..ish..ish.. Jangan ngambek dong Amel aja"
"Apalah kau ini? Dimana lagi kita? Aku mau keluar"
"Sabar... kau mau tau dimana ini dan kenapa?"
"Ya...ya.. ya.. cepat ya"
"Oke, Amel aja"

Pria berjas merah mulai bercerita kembali. Sambil menunjuk perempuan yang tengah sibuk menyiapkan makan malam. Perempuan itu bernama Nila. Dia berusia sekitar tiga puluh tahun. Dia sudah menikah. Dan sekarang dia sedang bersiap menyambut suaminya yang akan pulang dari pekerjaannya. Tak lama, pria itu sampai di rumah. Perempuan itu terlihat lelah karena sudah seharian dia mengurus rumah itu, dari mengepel, menyapu, berbelanja, mencuci, dan lain sebagainya. Tapi dia tetap tersenyum menyambut suami tercintanya. Pria beruntung itu bernama Sugi. Sugi merupakan seorang difabel. Dia kehilangan satu kakinya setelah kecelakaan motor tiga tahun silam. Karena itu juga dia kehilangan pekerjaannya dengan jabatan yang sudah lumayan tinggi. Selama hampir dua tahun Sugi menganggur dan hanya bekerja seadanya. Dari masalah ekonomi sampai sosial menimpa Sugi. Tapi istrinya tetap setia mendampingi Sugi. Beruntung, Sugi mendapatkan pekerjaan di tempat yang baru. Meskipun gajinya tidak sebesar tempat dia dulu. Sugi berjalan hanya dibantu dengan tongkat. Setiap hari dia pergi ke tempat kerja dengan menggunakan transportasi umum. Istrinya, setiap pagi menyiapkan bekal makan.


"Lalu?"
"Yasudah. Begitu aja ceritanya"
"Oke. Bisa kita pergi sekarang?'
"Haduh. Memang Amel aja gak sabaran ya"
"Emang!"
"Oke. Ayo lah. Ke pintu putih tadi lagi"
"Serius? Awas aja kalau gak sesuai ekspektasi lagi"
"Iya nona Amel aja"
"Mulai annoying kata aja. Cukup Amel"
"Iya, cukup Amel"
"Ishhh"


Benar saja dugaan Amel. Kali ini kembali ke ruangan hampa berwarna putih. Dan Amel semakin kesal dengan pria berjas merah itu. Untuk ketiga kalinya dia dibohongi oleh pria berjas merah. Amel ngambek dan kemudian menangis. Dia menangis karena kangen rumah dan kangen ibunya. Pria berjas merah mendekati Amel. Dengan wajah bersalah, dia berusaha menenangkan Amel dan menyuruhnya berhenti menangis. Dia berjanji setelah ini akan membantunya kembali ke rumah dan ibunya. Mendengar ucapan pria berjas merah. Amel berhenti menangis. Amel membalik tubuhnya dan menatap pria berjas merah. Dan berusaha meyakinkan janjinya itu. Dengan senyuman, pria itu berjanji. Kemudian, pria berjas merah memasukkan tangannya ke dalam saku jasnya bagian dalam. Dari saku itu, dia mengeluarkan amplop berwarna cokelat dengan ukuran cukup besar. Amplop itu kemudian diberikan kepada Amel dan menyuruhnya untuk membuka amplop itu. 


Amel membuka amplop itu dan mengeluarkan isinya. Amel kaget dengan isi dari amplop itu. Amplop itu ternyata berisi foto-foto dari Rizal. Pacarnya yang sudah memutuskannya. Bukan hanya foto Rizal seorang diri. Tetapi Rizal dengan perempuan lain. Dari satu lembar ke lembar lain, foto Rizal dengan perempuan lain yang terlihat begitu mesra dan semakin mesra. Tidak hanya satu perempuan saja, tetapi banyak perempuan lain lagi yang sama sekali Amel tidak mengenalinya. Amel dengan amarah yang mulai memuncak memasukan foto-foto itu lagi ke dalam amplop dan berusaha membuangnya. Tetapi pria berjas merah mencegahnya.


"Jangan dibuang. Aku susah-susah meminta itu dari kakak"
"......"
"Oke sekarang aku akan menceritakan semuanya"
"......"
"Kejadian kamu bunuh diri itu nyata. Dan dua kejadian lainnya juga nyata"
"......"
"Kenapa aku menunjukan dua kejadian itu. Karena aku ingin menunjukan sesuatu yang berharga"
"Berharga?"
"Iya. Cinta dan Kasih Sayang"
"Maksudnya??"
"Kamu tau dari dua kejadian itu. Aku menarik kesimpulan. Cinta itu buta seperti Karya yang masih mencintai istrinya yang serakah dan Musika yang mencintai Karya dari hartanya saja. Dan Sayang itu jelas adanya seperti Nila yang masih setia bersama Sugi dan Sugi yang tetap berjuang untuk Nila meskipun kondisinya tidak memungkinkan"
"....."
"Dari situ kamu harus belajar dan memahami bahwa Rizal tidak serius dengan kamu. Kalau dia sayang dan cinta kamu, dia tidak akan tega menyakitimu bahkan mungkin mengatakan putus"
"....."
"Move on adalah kata yang tepat. Aku tau, aku seperti menggurui. Tapi kamu berhak untuk bahagia"
"Terima kasih... pria aneh. Dan maaf untuk perkataanku tadi-tadi"
"Tidak masalah. Dan sekarang lihat aku"
"Apa??"
"Namaku bukan pria aneh. Namaku Shudo. Dan kamu harus kembali" kata Shudo sambil mendorong Amel hingga jatuh


Seperti orang yang tersentak. Amel langsung bangun dan langsung duduk. Dia berusaha mencerna semua kejadian yang dialaminya. Tak lama, Amel merasa seperti dipeluk. Ternyata yang memeluknya adalah ibunya. Amel memanggil nama ibunya dan membalas pelukannya sambil menangis. Amel ternyata selama ini tak sadarkan diri setelah beberapa menit tenggelam di sungai. Dan saat ini dia berada di sebuah kamar di rumah sakit. Tidak hanya ibunya saja, beberapa warga, dokter, suster, dan polisi ada di sekitar Amel yang tadi ada di luar ruangan kamar rumah sakit. Mereka tersenyum dan bersyukur ternyata Amel masih hidup. Setelah memeluk ibunya, Amel melihat sekelilingnya yang sedikit ramai sambil tersenyum dan masih terisak. Dan pandangan Amel tertuju ke jendela di ruangan itu. Di sana berdiri Shudo sambil tersenyum melihat Amel. Tak lama, sekumpulan dokter KOAS berjalan di depan Shudo. Pandangan Amel terhadap Shudo terhalang. Setelah mereka mereka lewat. Shudo sudah tidak berada di sana. Amel masih mencari di sekitarnya dan berharap Shudo ada di antara warga di dekatnya. Tapi tidak ada sama sekali batang hidungnya.


Shudo berjalan di koridor rumah sakit itu. Ditangan kanannya, dia menggenggam sebuah buku yang bersampul kulit berwarna hitam. Dia kemudian membuka buku itu di halaman ketiganya. Halaman yang tadinya kosong tiba-tiba muncul sebuah tulisan.

"Sayang sudah pasti cinta"
"Cinta belum tentu sayang"
"Karena cinta itu buta"
"Tapi sayang itu jelas adanya"
-Rene Lestari- #3


Shudo puas dengan kerja kerasnya tadi. Dia seperti tidak sabar dengan kerjaannya yang lain lagi. Dan berharap akan jauh lebih baik dan lebih seru. Dia lalu menutup buku itu. Dan kembali menghilang. Tamat.......... 





Shudo will be right back. Soon......

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TOEFL dan TOAFL UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Psychopath Story (Naskah Drama)

Pengalaman Gw Dengan Pelajaran Olahraga Sekolah