Habis Gelap Terbitlah Terang
"Dear Joni,
Aku sebenarnya masih sayang sama kamu. Aku masih cinta sama kamu. Tapi aku..... Entah lah. Ada perasaan yang mengganjal dalam hati aku. Setelah sekian lama kita bersama. Setelah banyak hal kita lalui selama delapan tahun ini. Aku bahagia.. Sungguh saat bersamamu aku merasakan kebahagiaan. Dari waktu kita nonton bareng, makan bareng, jalan bareng, bahkan sampai melakukan hal absurd juga bareng. Aku bahagia sekali....
Tapi... sungguh. Ini berat untukku. Aku tau ini juga berat untukmu, Joni. Tapi...... Ada yang sepertinya mengganjal dalam hati ini. Aku rasa hubungan kita tidak bisa lanjut lagi. Maaf, Joni. Aku tau ini sepihak. Berat rasanya menuliskan surat ini. Aku menangis dan tak berhenti sampai akhirnya surat ini selesai. Sekali lagi maafkan aku. Maafkan keegoisan aku. Kita udahan ya, Joni. Aku pikir kita bisa berteman. Bisa jadi sahabat yang baik dan saling pengertian. Terima kasih untuk semuanya. Terima kasih karena pernah mau"
Salam sayang, Rima"
Di sudut kamarnya, Joni berusaha tegar setelah menerima surat dari mantan pacarnya, Rima yang ditipkan lewat adik Rima, Yanti. Tapi tidak bisa. Joni merasa lemah. Dia merasa bahwa dirinya tidak berdaya tanpa Rima. Hanya Rima seorang yang mengerti dan selalu ada untuknya. Joni hanya tinggal bersama neneknya. Ayahnya tidak diketahui keberadaanya. Ibunya pergi begitu saja setelah beberapa bulan Joni lahir. Neneknya sudah pikun dan seringkali hanya duduk di teras rumah dan kemudian kembali ke kamarnya untuk tidur. Joni punya sahabat dan teman. Tapi dia menganggap tidak ada yang bisa membantunya. Sudah puluhan kali dia membaca surat itu. Untuk meyakinkan kalau isi surat itu nyata dan bukan mimpi.
Joni kemudian berjalan menuju meja belajarnya setelah duduk membungkuk di sudut kamarnya. Di atas meja banyak buku dan peralatan tulisnya. Dan banyak tumpukan kertas revisian skripsi yang dicoret-coret dosen pembimbing dan dosen penguji. Joni sudah semester 12. Sedangkan Rima sudah bekerja dan lulus tepat waktu. Mereka kuliah di fakultas dan jurusan yang sama. Mata Joni sudah mulai kosong. Dia melihat gelas plastik yang berisikan alat-alat tulis. Matanya kemudian tertuju pada cutter. Dia meraih cutter itu. Hati nuraninya sudah mulai saling cekcok. Bunuh diri atau tidak. Berulang kali hatinya cekcok. Bimbang dihati dan pikirannya. Dan tanpa pikir panjang lagi, dia mengeluarkan bilah dalam cutternya. Diarahkan ke pergelangan tangan kirinya sambil memejamkan mata. Saat akan menggores nadi ditangan kirinya. Puff.... suara asap mengepul terdengar.
Mendengar suara asap itu. Joni memilih tidak menghiraukannya. Tapi dia merasakan suatu kejanggalan. Cutter yang ada ditangan kanannya tidak juga menyentuh nadi ditangan kirinya. Sudah berusaha sangat keras hingga dia menunjukan kedua gigi bagian atas dan bawah yang saling beradu yang menunjukan dia berusaha sangat keras tapi tak juga merasakan cutter sampai ditangan kirinya. Karena penasaran, dia buka matanya. Cutter masih ada ditangan kanannya. Dan mencoba dengan mata terbuka tapi cutternya tetap tidak menyentuh tangan kirinya. Kemudian dia mengembalikan cutter ketempatnya dan melihat sekeliling kamarnya. Tak ada yang aneh. Joni lalu berjalan ke arah jendela kamar dan melihat keluar. Tapi tak ada apapun kecuali semuanya menjadi ruang kosong yang hampa dan sepi. Semuanya bewarna putih. Joni heran dan merasa dia ada di dalam mimpi. Kemudian dia menampar pipinya tapi terasa sakit dan mengambil surat dari Rima di mejanya. Dia merasa memang bukan mimpi. Tiba-tiba dia mendengar suara perempuan dari belakangnya. Dia tahu itu bukan suara Rima ataupun neneknya. Bergegaslah dia membalik badannya. Dia melihat sosok perempuan berambut hitam dan diikat. Dengan baju dan rok panjang berwarna merah dan putih. Perempuan itu tersenyum sambil melihat Joni yang heran. Wajah cantiknya terpancar.
"Namaku Mira Kuru. Kamu bisa memanggilku Mira. Dan aku ingin menunjukan sesuatu padamu"
Tak lama setelah perkenalan itu. Kamar Joni berputar dengan cepatnya. Dan berubah menjadi Lobi rumah sakit. Semuanya berwarna abu-abu. Hanya dia dan perempuan itu saja yang berwarna. Joni melihat sekelilingnya. Mulai dari orang-orang yang duduk di kursi, resepsionis yang melayani calon pasien, dokter yang masuk lobi rumah sakit, dan suster yang mengobrol dengan teman sesama suster yang membicarakan kondisi pasien. Dan dia kaget bukan main. Joni melihat nama rumah sakit di belakang meja resepsionis. Tertulis 'Rumah Sakit Pelita Keluarga Madiun'. Joni langsung bergegas menuju meja resepsionis dan bertanya. Tapi tak ada tanggapan. Melihat dan mendengarkan Joni saja tidak. Joni menghampiri perempuan itu.
"Kenapa aku ada di sini? Kenapa semua orang seperti tidak melihatku dan bahkan kamu!?"
Sambil tersenyum dan tidak menjawab semua pertanyaan Joni. Tiba-tiba lobi berubah lagi menjadi sebuah kamar di dalam rumah sakit. Kamar yang terdiri dari 6 tempat tidur pasien. Tapi hanya satu yang terisi. Joni terkejut. Dia melihat wajah yang familiar di tempat tidur itu, wajah yang dia ingat dari foto yang terpajang di ruang tamu rumah neneknya. Wajah ibunya. Ibunya sedang duduk di tempat tidur itu. Dia sedang menggendong seorang bayi. Dari pakaian ibunya, sepertinya sudah waktunya pulang. Dari jauh dia melihat wajah ibunya yang penuh cinta dan rasa sayang sambil menatap bayi yang digendongnya. Joni kemudian mendekati ibunya. Bersamaan dengan itu, suster juga berjalan mendekati ibunya.
"Sudah diberi nama anaknya, bu?"
"Sudah sus. Saya sudah memikirkan sejak lama ingin menggunakan nama ini. Pasti cocok deh"
"Oh ya. Siapa nama anaknya, bu?"
"Joni. Joni Rahmat"
"Wah... bagus ya namanya"
"Ibu mau pulang sendirian atau nunggu keluarga?"
"Sendiri, sus. Ibu saya menunggu di rumah. Beliau lagi sakit. Sedangkan ayahnya. Saya gak tahu"
"Kalau begitu saya bantu bawa barangnya ke lobi ya, bu"
"Boleh... makasih, sus"
Perasaan Joni campur aduk mendengar pembicaraan ibunya dan suster. Dia memutuskan untuk mengikuti mereka ke lobi. Tapi dicegat oleh perempuan bernama Mira. Dan tak lama, berubah kembali kamar itu menjadi ruang tamu rumah neneknya. Tapi kondisinya berbeda. Lebih baru dan masih bagus. Joni melihat nenek dan ibunya sedang dalam pembicaraan yang cukup serius. Joni kemudian mendekati keduanya untuk mengetahui isi pembicaraannya.
"Ratih. Kamu yakin ingin pergi sekarang? Bagaimana dengan Joni?"
"Yakin sekali, bu. Aku ingin membawa Joni. Tapi gak bisa. Dilarang membawa anak soalnya. Apalagi masih bayi"
"Kamu serius, nduk? Kasihan Joni. Dia masih butuh kamu"
"Sangat serius, bu. Semua ini demi Joni. Aku harus kerja keluar kota. Ibu sudah tidak bisa bekerja lagi. Ayahnya pergi entah kemana. Tinggal aku harapan kita. Biar Joni bisa hidup enak sampai dewasa"
"Ibu bingung. Tapi kalau keputusanmu sudah bulat. Ibu pasrah aja. Ibu manut sama keputusanmu itu.Yang penting jaga diri kamu di sana. Biar Joni ibu rawat. Kalau bisa kamu sering-sering pulang, nduk. Joni tetep butuh kamu"
"Nggih, bu. Ratih janji akan sering pulang kalau bisa. Lusa Ratih sudah haru berangkat"
Seketika, ruang tamu itu berubah lagi. Tapi berbeda dari sebelumnya. Joni tetap ada di ruang tamu itu. Hanya saja kondisi ruang tamunya berbeda. Joni melihat neneknya duduk lemas di kursi. Dia menangis dan disekitarnya banyak warga sekitar rumahnya yang melihat dan berusaha menenangkannya. Mencuri dengar dari pembicaraan warga yang agak jauh dari neneknya. Joni mendengar bahwa Ratih, ibunya menghilang dari tempat kerjanya. Dia diduga diculik dan dibunuh. Kemudian mayatnya dibuang dan belum ditemukan. Kabar itu didapatkan dari pihak kepolisian yang beberapa jam lalu mendatangi rumah itu. Joni shock mendengar cerita itu. Joni kemudian melihat anak-anak bermain di halaman rumah neneknya. Salah satunya dirinya yang masih berusia 5 tahun. Kemudian ruang tamu itu berubah lagi menjadi ruang persidangan.
Di ruangan itu sedang duduk seorang perempuan dengan baju tahanan di tengah. Ada hakim, jaksa, dan juri. Ada pengacara dan banyak orang. Ternyata saat itu sedang dilakukan persidangan pembunuhan. Dan perempuan itu, Lianti. Terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap Ratih. Motifnya, Lianti cemburu karena gaji Ratih semakin naik karena kinerjanya. Sedangkan dia yang sudah lama bekerja di pabrik makanan 'Delifood' tidak pernah ada kenaikan gaji. Ratih dibunuh dan kemudian dibuanglah jasadnya ke sungai yang deras dekat pabrik. Ratih dibunuh saat akan pulang. Dengan senyum dan bahagia setelah hampir satu tahun Ratih tidak pulang yang akhirnya bisa bertemu dengan Joni lagi. Dan disaat itulah, Lianti menghabisis Ratih. Jasadnya ditemukan setelah 5 bulan pencarian. Dan kondisi jasadnya sudah hampir tidak bisa dikenali. Joni marah dan memukul Lianti. Tapi saat memukul wajahnya, tangannya tembus. Dia tidak bisa menyentuh Lianti sama sekali. Setelah sidang selesai, Joni mendekati neneknya yang masih terisak sesaat setelah sidang selesai. Neneknya berbicara kepada beberapa warga yang di dekat rumah neneknya yang hadir dipersidangan. Neneknya mengatakan kalau jangan sampai kasus ini terdengar oleh Joni. Dia tidak siap dengan kenyataan ini. Dan Joni dewasa, kasus ini belum pernah didengarnya.
Tak lama. Joni menangis setelah tahu kenyataan yang sesungguhnya. Mira mengelus punggung Joni sebagai rasa bela sungkawa dan berusaha menenangkan Joni. Joni berhenti menangis dan melihat ke arah Mira yang ada di belakangnya. Yang masih menggunakan baju merah dan rok putih panjang. Joni berusaha menenangkan dirinya. Masih berusaha mencerna semua kejadian dari lobi rumah sakit hingga ruang sidang. Joni mengajak Mira berbicara.
"Kenapa kau menunjukan semua ini? Apa tujuanmu?
"....."
"Serius!!? Kenapa diam saja!?"
"Joni.... aku menunjukan semua ini. Kenyataan ini. Agar kamu tau. Kalau masih ada wanita yang mencintaimu. Menyayangimu"
"Lalu? Sebenarnya ini kurang membantu. Hanya membuat..... ya aku sedikit tambah menderita"
"Mungkin itu salah satu efek sampingnya. Tapi. Ada satu lagi yang ingin aku tunjukkan"
Tanpa panjang lebar lagi. Ruang sidang itu berubah lagi menjadi sebuah taman yang indah. Di tengah taman terdapat air mancur. Di taman itu banyak bunga dan tempat duduk kayu. Taman yang kondisinya cukup ramai. Banyak yang camping, anak-anak berlarian sambil bermain, ada yang membaca buku, dan lain sebagainya. Dan kemudian mata Joni tertuju pada sosok wanita yang duduk di salah satu tempat duduk kayu. Wanita itu sedang membaca buku. Disebelahnya duduk anak-anak yang ternyata adiknya. Karena tak jauh dari sana kedua orang tuanya sedang camping dan menyantap makanan. Yang berbeda dari yang lain. Wanita itu berwarna hitam. Tidak terlihat sama sekali wajah atau warna kulitnya. Pakaiannya pun juga berwarna hitam. Dan Joni tidak tahu persis seperti apa rupa dari wanita itu. Mari yang ada disebelah Joni hanya tersenyum melihat Joni kemudian melihat wanita itu.
"Kau lihat wanita di sana? Wanita yang wujudnya seperti siluet"
"Ya... aku lihat. Kenapa dia seperti itu? Siapa dia?"
"Sebenarnya aku dilarang menunjukkan ini. Aku terpaksa melanggar"
"Apa maksudmu, Mira?"
"Jadi...... sebenarnya..... dia adalah jodohmu. Tulang rusukmu yang hilang"
"Serius? Aku masih tidak percaya semua ini"
"Hihihihi... aku tau kamu tidak akan percaya"
"Tapi kenapa dia seperti itu? Dan kenapa kau tunjukkan ini?"
"Kamu tau..... Dia masih rahasia dan kamu harus mencarinya. Makanya aku rahasiakan dia dengan siluet. Dan kenapa aku menunjukkan ini? Kamu masih ingat kalau tadi kamu berusaha bunuh diri?"
"Ya..... aku malu mengakuinya. Tapi, ya"
"Asal kamu tau. Kalau kamu akhirnya bunuh diri dan meninggal. Kamu tidak akan pernah memiliki kesempatan bertemu dengannya"
"Hah?"
"Ya, benar. Apa kamu tidak kasihan dengan wanita itu? Kalau kamu meninggal, 99% dia akan hidup sendiri hingga Tuhan memanggilnya. Dia tidak memiliki kesempatan bahagia dengan melayani suami, mendidik anak-anak kalian, atau bahkan bangga bisa menjadi doronganmu untuk menjadi lelaki yang hebat. Apa kamu tidak kasihan?"
"................"
"Aku tau kamu pasti tidak terpikikan hal itu"
"Kamu benar, Mir. Aku bodoh. Hanya karena seorang wanita yang menghancurkan perasaanku. Aku harus tega menghilangkan kesempatan wanita lain yang lebih baik untukku"
"Dan jangan lupa... Ibumu masih mencintaimu. Dan nenekmu juga. Masih banyak wanita yang mencintaimu termasuk sahabat dan teman-temanmu. Kamu tidak sendirian, Joni"
"Terima kasih, Mir. Sudah menunjukan semua ini. Aku senang dan aku sadar. Aku harus menjadi lebih baik lagi. Terutama untuk wanita itu"
Tiba-tiba Joni terbangun dari tidurnya. Dia tertidur dibalik meja belajarnya. Dengan tangan kanan yang masih memegang cutter. Dengan buru-buru, Joni mengembalikan cutter itu ke tempatnya. Dia sadar kalau tadi bukan mimpi. Joni bangun dari duduknya dan berlari ke teras rumah. Dia memeluk neneknya yang duduk dengan eratnya. Neneknya memberikan respon dengan senyum dan mengusap kepala Joni. Joni menangis dalam pelukan itu. Dia sadar kalau neneknya yang pikun seringkali tidak memberikan respon apapun kalau diajak berbicara. Dan sekarang pelukannya memberikan respon yang sangat berarti bagi Joni.
Dari kejauhan. Mira melihat kejadian itu dengan senyuman. Mira kemudian membuka buku yang dia bawa. Buku itu berisi halaman-halaman kosong. Dihalaman pertama buku itu kemudian muncul sebuah tulisan.
"Apakah cahaya selalu menerangi?"
Apakah kegelapan selalu kelam?"
Itu tergantung apa dan siapa yang mengadapi serta merasakannya"
-Rene Lestari- #1
Mira melihat tulisan itu dengan senyum. Dia lalu menutup buku itu. Dan kembali melihat ke arah Joni yang masih memluk neneknya dengan erat sambil menangis. Mira kemudian berbalik arah dan menghilang dari tempat itu bagaikan asap. Tamat..........
Mira will be right back. Soon......
Komentar
Posting Komentar