Cinta Datang Karena Anugerah Yang Kuasa

Namaku Raditya Adi. Aku biasa dipanggil Radit. Usiaku sudah masuk 26 tahun. Dan sudah dua tahun aku menjadi seorang jomblo. Yah... susah senang menjadi seorang jomblo sudah kualami. Dari ledekan teman sampai merasa kesepian. Meskipun kadang jalan bareng sama teman atau sahabat atau bahkan keluarga, tapi tidak kalah sering juga aku jalan hanya sendirian. Benar. Sendiri. Tanpa ada teman atau keluarga sekalipun. Sepi. Sendiri. Bahkan bingung mau bicara dengan siapa saat jalan sendirian. Kadang ngebanyol dengan orang yang baru ditemuin. Mulai dari kasir Indom**t (cewek yang pastinya), tukang parkir (kebanyakan bapak-bapak), sampai orang yang sebelahan duduk di transportasi umum. Ya.... kadang mereka suka. Tapi gak jarang juga mereka menunjukan ekspresi 'apasih!?', 'gak jelas!', 'dikata ganteng apa!?', dan sebagainya.


Pacaran pertamaku dimulai saat SMP. Awalnya hanya gebetan selama 1 tahun. Tapi akhirnya jadian juga. Nama pacar pertamaku adalah Juwita Asri. Dia cantik, putih, lebih tinggi dari aku, dan terkenal. Ya, terkenal. Karena dia anggota cheerleader. Aku anak yang sama sekali tidak populer di sekolah merasa beruntung bisa jadi pacarnya. Tapi sayang, saat aku mau masuk kuliah. Kita putus. Alasannya sederhana. Sudah tidak cocok. Satu bulan kemudian aku pacaran lagi dengan anak satu kampus. Namanya Kiara Suandi. Dengan ciri-ciri yang mirip dengan Juwita. Bedanya dia memakai behel digiginya. Tapi enam tahun kemudian kita putus. Dia lulus dengan IPK 3,75 dan dengan 3,5 tahun. Sedangkan aku 6 tahun dan IPK hanya 2,97. Dan kali ini aku diputusin karena orang tuanya tidak merestui kelanjutan hubungan kami. Aku dianggap kurang baik sebagai pasangan. Ya karena jadi 'veteran' di kampus dan lulus dengan kurang memuaskan. Akhirnya dengan terpaksa kita putus. Setelah lulus aku kerja. Cuma sebagai pegawai biasa di kantor yang biasa juga. Empat bulan kemudian aku pacaran dengan Nindi Arya, teman yang baru aja ketemu di komunitas penulis. Cuma tiga bulan pacaran. Tapi paling berkesan. Karena perjuangan untuk dapetinnya lumayan susah. Dan putusnyapun beda dari yang lain. Dia suka godain pria lain. Aku tahu cuma bercanda. Tapi aku cemburu sekali. Sayangnya tafsiran dia berbeda. Sampai akhirnya kita berantem dan dia minta jarak. Dan putus deh. Beberapa bulan kemudian aku keluar dari komunitas penulis itu dan kembali fokus kepekerjaan.


Bagaimana kabar mereka? Dari social media dan teman. Juwita sekarang masih sendiri. Dia lebih memilih karirnya sebagai seorang model. Kiara sudah tunangan dengan pria pilihan orang tuanya. Sedangkan Nindi, dia sudah punya pasangan dari komunitas menulis itu. Aku berharap mereka bahagia dengan jalan hidup yang dipilih masing-masing. Aku memang harus move on. Memang lumayan berat, tapi harus dijalani. Dan hari ini. Genap sudah dua tahun aku resmi menjadi seorang jomblo. Kadang bahagia karena bebas. Dan kadang pula merasa kesepian. Untuk melupakan tentang mereka dan melupakan kalau aku adalah seorang jomblo. Aku suka duduk di bangku sebuah taman. Namanya Taman Linkin. Di sini sering kali ramai tapi tidak penuh. Jadi masih bisa duduk-duduk dengan nyaman. Tapi jangan harap akhir pekan akan sama kondisinya hehehehe. Yang aku suka dari taman ini, pertama karena masih asri, jauh dari perkotaan yang ramai, tidak adanya suara kendaraan, dan yang pasti tidak kotor. Kedua, aku suka dengan melihat orang-orang yang bahagia menikmati taman ini. Dan yang ketiga, aku masih bisa nyaman duduk di bangku taman ini dan menulis apa yang aku pikirkan. 


Tapi, entah kenapa. Hari ini aku galau. Mood tidak menyenangkan. Bahkan laptop yang biasa aku pakai untuk menulis hanya aku biarkan tertutup di sampingku. Mungkin aku masih mengharapakan kalau saat ini aku tidak jomblo. Bisa duduk dengan wanita yang mau denganku dan sedang duduk disampingku sambil tersenyum menatapku. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya pasangan yang bahagia yang ada di taman. Aku iri, aku berharap, dan aku merasa sepi. Huft... aku mulai berpikir dunia ini tidak adil. Seandainya satu saja dari para barisan mantan itu, tidak pernah mengatakan putus. Mungkin sekarang aku menjadi salah satu pria yang bahagia dan rasa ini tak pernah ada.


Sat aku sedang meratapi kegalauan ini. Tiba-tiba aku seperti merasakan ada seseorang yang sedang duduk di sampingku. Dan dengan cepat aku menengok. Ternyata seorang perempuan dengan baju berwarna merah dan putih. Rambutnya hitam panjang. Tingginya sama denganku tapi dia terlihat seperti anak-anak tapi badannya dewasa. Dia menatapku sambil tersenyum. Dan perempuan itu mulai berbicara, yang ternyata memang dia perempuan dewasa tapi wajahnya imut seperti anak-anak.

"Hai... aku Mira Kuru. Biasa dipanggil Mira"
"Lucu ya namamu. Oh iya. Aku Raditya Adi. Biasa dipanggil Radit"
"Aku lihat kamu sedang galau ya !? Mau ikut denganku?"
"Kemana?"
"Sekarang lihatlah sekelilingmu"


Pembicaraan yang pendek dan singkat itu ternyata membuat aku fokus sementara kepada Mira. Yang membuatku tanpa sadar kalau aku sudah tidak berada di Taman Linkin lagi. Hanya bangku taman yang aku duduki saja yang masih di tempatnya dengan Mira yang masih diposisinya. Taman itu berubah menjadi pinggir jalan raya yang berada di tengah kota. Tepatnya sebuah trotoar dengan deretan bangku dan pepohonan. Aku heran? Patinya. Aku ingin bertanya soal itu. Tapi aku lebih fokus melihat perubahan  tempat yang ada sekitarku. Trotoar yang cukup asri dan enak untuk tempat istirahat setelah berjalan kaki. Sayangnya, keasrian trotoar itu agak terganggu. Bukan karena pejalan kaki, tapi seorang pria dan wanita yang sedang berantem. Mereka terlihat seperti adu argumen dan tidak ada yang mau mengalah. Saat aku hendak mendekati mereka, aku dihalangi oleh tangan Mira. Dia menyuruhku untuk tetap duduk dibangku taman yang sudah tidak ada di taman lagi. Mira kemudian menunjuk kepada kedua orang itu.


"Kamu tahu kedua orang itu? Mereka adalah pasangan. Alias pacaran"
"Lalu?"
"Pertengkaran mereka diakibatkan oleh keegoisan pihak perempuan"
"Hei. Kau serius?"
"Ya. Perempuan itu dengan terpaksa menerima si pria. Sebenarnya, perempuan itu terpaksa karena dorongan temannya dan terlanjur masuk dalam 'drama' jodoh-jodohan yang dibuat oleh dirinya"
"Apa sepenuhnya salah perempuan itu?"
"Tidak juga. Si pria juga terlalu menganggap 'drama' itu serius. Akhirnya dia terjerumus dalam 'drama 'itu"
"Baper maksudmu?"
"Yup. Pertengkaran ini seharusnya tidak usah terjadi bila perempuan itu sudah menolaknya dari awal dan si pria tidak terlalu menganggap serius. Akhirnya jadilah cinta dengan paksaan"
"Aku jadi kasihan terhadap si pria. Mungkin cinta dia tulus. Tapi ternyata hanya sebuah permainan"


Mira tak menanggapi pernyataanku yang terakhir. Aku melihat Mira yang sedang fokus melihat kedua orang itu yang masih bertengkar. Tak lama, Mira melihatku dengan senyumannya. Tanpa sadar lagi. Sekitarku berubah lagi dan hanya menyisakan bangku taman, aku, dan Mira. Kali ini, kami berada di dalam sebuah kamar. Kamar perempuan tepatnya. Dan aku melihat seorang perempuan yang tiduran sambil menangis. Tebakkanku, perempuan itu tidak bisa melihat kami karena kami cukup dekat dengan tempat tidur itu. Lagi pula dia tidak sedang memejamkan matanya dan sedang melihat handphonenya.


"Sekarang apa?" tanyaku
"Kamu lihat perempuan itu? Dia baru saja memutuskan pacarnya"
"Apa karena si pria?"
"Benar. Kali ini si pria lah yang egois"
"........."
"Awalnya si pria yang mengejar perempuan itu. Dengan susah payah akhirnya si pria menyatakan cintanya. Dan diterima oleh perempuan itu"
"Aneh. Seharusnya si pria mempertahankan hubungannya"
"Iya, kau benar. Tapi. Setelah lama berpacaran. Si pria mulai cuek. Sedangkan si perempuan semakin sayang dan cinta. Si pria menganggap perempuan itu hanya sebagai pacar biasa, bukan pacar yang istimewa. Setelah dapat, dia mencari pacar lagi"
"Selingkuh?"
"Iya. Si pria sedang mendekati perempuan lain yang dianggapnya lebih baik dan menantang"
"Tebakkanku si pria ketahuan? Benarkan?"
"100. Si pria yang ketahuan pun seperti acuh tak acuh. Dan menganggap perempuan itu sebagai pengganggu. Dan pergilah dia dengan perempuan lain"
"Kali ini aku kasihan dengan perempuan itu. Cinta dan sayangnya tulus. Tapi hanya menjadi sebuah piala yang didapat seperti lomba"


Lagi-lagi, Mira tak menanggapi pernyataanku. Aku kali ini tak menatapnya lagi. Dan melihat sekelilingku yang berputar menjadi tidak jelas. Yang kemudian kembali ke Taman Linkin dengan kondisi seperti terakhir aku tinggalkan. Aku masih terduduk di bangku taman yang sedari tadi aku duduki. Mira masih berada di sampingku. Kali ini dia memegang sebuah buku yang tak dibukanya. Buku yang bersampul kulit berwarna hitam dan tak memiliki judul. Baik dipinggir buku atau di depannya. 

"Kamu mau dengar kesimpulanku dari dua kejadian tadi?" Ucap Mira
"Boleh?"
"Pertama, cinta datang seharusnya tidak secara terpaksa. Dan kedua., Cinta itu bukan sebuah permainan"
"Kau benar, Mira"
"Cinta itu datang bukan karena kita memintanya. Tidak secara terpaksa atau dipaksa. Cinta itu sebenarnya datang karena kita butuh. Yang muncul secara perlahan karena kita terbiasa hidup dengan orang yang terkasih"


Kali ini aku yang tidak menanggapi pernyataan terakhir dari Mira. Dia mengatakan dengan senyuman khasnya. Aku mengiyakan pernyataan terakhirnya dalam hati. Aku kemudian merenungkan pernyataan itu dengan kegalauanku tadi. Mungkin aku belum membutuhkan cinta, karena aku belum dipertemukan dengan wanita yang tepat hingga saat ini. Kalau aku memintanya, mungkin aku akan dipertemukan dengan banyak wanita tapi akan berakhir cepat atau lambat. Dan setelah merenungkan itu aku kembali melirik ke arah Mira. Tapi sayangnya dia sudah menghilang. Aku tak menyadari kepergiannya. Dia datang dan pergi tiba-tiba. Aku kemudian berpikir. Mira datang mungkin untuk menjawab kegalauanku ini. Dan benar saja, di tempatnya tadi dia duduki. Terdapat secarik kertas. Aku membacanya dengan senyuman. "Jangan galau. Berbahagialah -Mira-".


Dari kejahuan. Mira melihat senyum Radit. Dia merasa kalau dirinya berhasil. Kemudian dia membuka buku yang dibawanya tadi. Dia membuka halaman kedua buku tersebut. Halaman yang tadinya kosong tiba-tiba muncul sebuah tulisan.

"Cinta datang bukan karena kita yang minta"
"Tapi cinta datang karena kita yang butuh"
-Rene Lestari- #2


Mira melihat tulisan itu dengan senyum. Karena sesuai dengan apa yang dia pikirkan tadi. Dia lalu menutup buku itu. Dan kembali menghilang seperti asap. Tamat.......... 





Mira will be right back. Soon......

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TOEFL dan TOAFL UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Psychopath Story (Naskah Drama)

Pengalaman Gw Dengan Pelajaran Olahraga Sekolah